Ilustrasi startup ramah lingkungan di Indonesia yang bergerak menjaga sustainability
Ilustrasi startup ramah lingkungan. Credit image: Alena Koval/Pexels.

Startup di Indonesia mulai populer dan menjamur. Beberapa dari mereka mencoba berkontribusi menciptakan bisnis yang sustainable dengan memanfaatkan bahan ramah lingkungan!

Mycotech

Seperti namanya, myco yang berarti jamur, Startup ini memperkenalkan beragam inovasi ramah lingkungan berbahan dasar jamur dan limbah pertanian. Titik balik berkembangnya startup ini dimulai sejak penemuan Biobo adalah decorative panel yang berasal dari limbah pertanian dan jamur.

Jalan yang ditempuh untuk menghasilkan Biobo tak mudah. Riset panjang telah dilakukan sejak tahun 2014 dimulai di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Serpong, Tangerang. Sempat pula diadakan kerjasama dengan Future Cities Laboratory National University of Singapore (NUS).

Untuk membuat Biobo hampir mirip dengan proses produksi tempe. Bedanya terletak pada bahan yang dilekatkan oleh miselium jamur. Jika pada tempe, bahan tersebut adalah kedelai, pada Biobo yang direkatkan ialah bahan ramah lingkungan yakni limbah pertanian. 

Limbah yang dimaksud memiliki kandungan selulosa, misalnya ampas tebu, limbah kelapa sawit, maupun serbuk kayu. Proses seluruhnya bisa memakan 1 bulan untuk mencapai masa panen.

Menariknya, inovasi Mycotech ini dapat digunakan untuk  berbagai kebutuhan. Mulai dari pelapis dinding hingga membuat furnitur atau interior lainnya. 

Biobo bahkan pernah diuji coba untuk struktur bangunan. Ialah Myco Tree, instalasi jamur pertama hasil kolaborasi dengan Future Cities Laboratory NUS  yang dipamerkan di Seoul Biennale of Architecture and Urbanism 2017. 

Di dalam negeri, pasar Biobo sendiri sudah sampai Batam dan Bali. Selain Biobo, Mycotech juga punya inisiasi ramah lingkungan lain yang dinamakan Mylea.

Bila Biobo lebih banyak digunakan sebagai material bangunan maupun furnitur, Mylea dimanfaatkan pada bidang tekstil. Selama ini, banyak produk fashion memanfaatkan kulit dengan proses pewarnaan yang kurang menguntungkan dampaknya bagi lingkungan. 

Mylea menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pewarna bahan ini terdiri dari beragam bahan alami misalnya indigo, kulit kayu, maupun dedaunan. Mylea telah dimanfaatkan banyak brand lokal untuk sampul buku, jam tangan, sampai sepatu. Kolaborasi antara Mycotech dengan produsen jam tangan Pala Nusantara, yaitu Palamylea berhasil menyabet gelar GDI Best di ajang Good Design Indonesia 2019. 

Bahan dasar fashion yang ramah lingkungan ini juga mulai dilirik brand internasional. Salah satunya Clark, brand fashion asal Inggris.

Produk fashion dari material mycotech yang ramah lingkungan
Produk fashion dari material mycotech. Credit image: Suara.com.

Mycotech saat ini bekerja sama dengan Kickstarter, sebuah platform crowdfunding populer. Kolaborasi ini mendapatkan ribuan pesanan dan telah menghasilkan lebih dari 26.000 dolar Amerika Serikat. Selain profit, platform ini juga berperan memperkenalkan produk ramah lingkungan dari Indonesia pada dunia.

Waste4Change

Waste4Change adalah startup pengelola limbah yang mulai dirintis sejak 2014. Pengelolaan limbah yang semula hanya dilakukan di satu gedung, kini diperluas layananannya mencapai 40 area komersial dan 2000 rumah.

Pengembangan start up ramah lingkungan ini didasari oleh riset Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2015 tentang limbah di Indoensia. Ternyata, 69% limbah dibuang ke tempat pembuangan sampah. Lalu 23,5% lainnya dibakar, dikubur, atau dikotori secara ilegal. Hanya 7,5% saja yang didaur ulang. 

Ilustrasi Pemilahan Sampah oleh Waste4Change
Ilustrasi Pemilahan Sampah oleh Waste4Change. Credit image: Official Websit Waste4Change.

Pada Februari 2020 lalu, start up ini mencatatkan guyuran dana dari investor.  Dikutip dari DealStreetAsia, besaran investasinya disebut-sebut mencapai US$ 3 juta atau sekitar Rp 42,7 miliar. Tiga investor yang dimaksud adalah SMDV, Agaeti, dan East Ventures. 

Waste4Change akan menggunakan dana itu untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan limbah menjadi 2.000 ton per hari pada 2024. 

Waste4Change memiliki tujuan jangka panjang untuk mensinergikan circular economy dan zero-waste Indonesia lewat kolaborasi dengan masyarakat, pemerintah, serta pihak swasta dan investor. Untuk itu, dengan dana ini mereka berusaha mengembangkan platform smart city dalam hal pengelolaan limbah. Berencana membangun kerjasama dengan pemerintah kota maupun kabupaten, pengelolaan limbah akan mencakup pemantauan limbah, pembiayaan proyek, hingga edukasi pengelolaan.

Kucuran dana investor juga akan dimanfaatkan start up ramah lingkungan ini untuk meningkatkan kemitraan terkait penanganan limbah.

Salah satu General Partner Agaeti Ventures Agaeti Ventures Michael Soerijadji  melihat Waste4Change dapat menjadi salah satu pemecah masalah di Indonesia. Alasan itulah yang membuatnya tertarik berinvestasi pada startup tersebut. 

GeoFast

Start up ini berawal dari Tim Inovasi Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia dari Dept. Teknik Metalurgi dan Material. Mengusung produk semen cepat kering yang ramah lingkungan, mereka berhasil menorehkan prestasi yang mengharumkan nama Indonesia.

Keunggulan semen produksi Geofast adalah waktu pengeringan yang cenderung singkat. Dalam 8 jam – 3 hari, semen akan memperoleh kekuatan optimum beton. Hal ini jauh lebih cepat dan efisien ketimbang semen konvensional yang butuh 28 hari untuk mencapai fase beton biasa. 

Selain memiliki kelebihan dari segi konsumsi, semen ramah lingkungan ini pun lebih minim emisi karbon dan polusi dalam proses produksi. Semen konvensional memakai tanah kapur, sedangkan GeoFast hanya membutuhkan limbah. Semen konvensional juga butuh dipanaskan pada tanur -600 derajat celcius.

Produk semen produksi Geofast lebih ramah lingkungan dari semen biasa dalam segi produksi maupun manfaat
Produk semen ramah lingkungan produksi Geofast. Credit image: Official Website Geofast.id.

Semen berbahan dasar slag (limbah tambang/smelter) buatan mereka ini berhasil membawa start up tersebut menjadi The Top 52XTC 2020 Finalist dalam ajang kompetisi Ectreme Tech Challenge (XTC) 2020.

Tak tanggung-tanggung, perhelatan ini berada pada tingkat dunia dengan mempertandingkan lebih dari 2.400 perusahaan rintisan dari 87 negara. Fokus start up pun beragam, mulai dari sektor layanan kesehatan, pendidikan, pertanian, pagan dan air, teknologi bersih dan energi, fintech, transportasi dan kota cerdas, serta “enabling technologies” (teknologi yang dapat diterapkan untuk mendorong perubahan)

XTC ini merupakan ajang start up startup terbesar yang bertujuan untuk menemukan beragam solusi dalam mengatasi tantangan global.

Prestasi GeoFast tak bisa diremehkan. Sebelumnya, mereka juga berhasil menyabet juara 2 pada ajang Leaders Innovation Fellowship di London. Selain itu, start up ramah lingkungan ini juga meraih penghargaan BPPT Awards taun 2019. Masih pada tahun yang sama, GeoFast menerima penghargaan dan medali perak pada ajang ISIF (International Science dan Invention Fair 2019).

One thought on “Geliat 3 Startup Ramah Lingkungan asal Indonesia”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *