Akhir-akhir ini video bersimbol not balok mungkin membanjiri media sosialmu. Selebritas seperti Marsha Aruan, Zara ex JKT48, dan selebgram tak mau ketinggalan. Mereka mulai rajin mengunggah konten di aplikasi yang satu ini. Ialah TikTok, platform video yang jadi andalan anak-anak muda terutama gen Z buat mencari hiburan.
TikTok berhasil menuai sukses sebagai aplikasi paling didownload tahun 2018. Tak sampai di situ, kesuksesan TikTok berlanjut hingga kuartal pertama 2020. Aplikasi ini memiliki jumlah unduhan sebanyak 315 juta di seluruh penjuru dunia.
Nggak heran banyak brand tertarik untuk mencoba strategi marketing mereka melalui platform ini. Meski begitu, sebagian lainnya masih ragu. Is it worth the hype?
Karakteristik Tik-Tok dan Usernya
Tik-Tok merupakan aplikasi untuk mengunggah maupun menonton video singkat berdurasi 15-60 detik. Menargetkan usia 13-24 tahun, konten Tik-Tok memiliki ragam video. Sebut saja video menari, memasak, hewan peliharaan, hingga parodi dan lipsync.
TikTok sebagai Brand Marketing: Pro & Kontra

Kepopuleran TikTok membuat banyak brand melirik platform satu ini untuk menarik lebih banyak konsumen. Meski begitu, tak sedikit pula brand yang masih ragu untuk memperluas marketing mereka ke TikTok.
Mari memikirkan hal paling penting dulu. Pertama, kita perlu mencermati jenis strategi untuk menambah engagement konten mereka di TikTok:
- Brand dapat membuat kanal mereka sendiri dan mengunggah konten yang relevan.
- Brand juga bisa bekerja sama dengan influencer atau selebgram untuk menjangkau target audiens. Seperti halnya platform video lain, seorang selebgram berpotensi besar menarik audiens lewat TikTok. Kuncinya, membiarkan influencer membuat konten sesuai dengan karakteristik dan nilai-nilai yang mereka bawa. Sebaiknya konten yang dibuat bersifat ringan sesuai karakteristik mayoritas pengguna TikTok. Mayoritas Gen Z pun lebih memilih video yang tampak “asli” ketimbang “polesan”. Mereka menghindari konten high-production seperti iklan-iklan televisi. Be personal and authentic.
- Brand juga bisa memilih untuk memasang iklan di TikTok. Fitur ini tergolong baru dan masih diuji coba.

Fitur seperti Hashtag dan karakteristik Tik-Tok perlu dimaksimalkan untuk menciptakan User-Generated Content. Hashtag dan Challenge akan membuat konten lebih mudah diingat dan dicari oleh pengguna. Brand dapat memanfaatkan fitur ini pada kanal mereka sendiri. Namun, disarankan untuk mempopulerkannya dulu lewat influencer atau selebgram agar audiens terbiasa.
Setelah ada ketertarikan, nantinya diharapkan akan muncul beragam User-Generated Content. Gen Z diharapkan menjadi pioneer karena sifat mereka yang suka terlibat suatu kegiatan. Challenge semacam ini sangat berpotensi menarik user dan calon konsumen. Nantinya, diharapkan mereka mau berpartisipasi lebih lanjut terhadap brand, termasuk melakukan pembelian.
Pro dan Kontra Penggunakan TikTok sebagai Strategi Marketing
Bukti kesuksesan brand marketing melalui Tik-Tok telah dituai oleh beberapa brand internasional.
NBA mencoba membuat profil organisasi yang lebih fun melalui kanal TikTok mereka. Hal itu dilakukan dengan mengunggah konten seperti momen off-stage lucu para atlet. Kadang mereka juga mengunggah video yang memperlihatkan maskot mereka.
Serupa dengan NBA, The Washington Post mencoba menunjukkan “keaslian” organisasi lewat TikTok. Mereka memperlihatkan sisi yang menghibur di balik newsroom yang membuat user merasa tersentuh.
Hal ini membuat user merasa mengenal brand dalam cara yang jauh lebih otentik. Akibatnya, akan timbul kepercayaan terhadap brand tersebut.

Di sisi lain, strategi brand marketing melalui TikTok dianggap juga memiliki kelemahan.
Pertama, karakteristik dan user TikTok mungkin kurang sesuai dengan beberapa brand. Brand tersebut bisa jadi punya target market dengan usia jauh berbeda. Akhirnya, mereka kurang bisa memahami strategi yang tepat untuk melakukan marketing melalui TikTok. Kebanyakan brand telah lebih dulu memproduksi iklan dengan format televisi. Format keduanya sangat berbeda, sehingga iklan tersebut sulit disesuaikan dengan format aplikasi TikTok.
Kedua, strategi marketing ini hanya cocok untuk tujuan tertentu. Misalnya, untuk meningkatkan awareness ketimbang meningkatkan penjualan atau tujuan monetisasi lainnya. Tingginya tarif iklan juga membuat beberapa brand enggan menggunakan TikTok untuk marketing.
Ketiga, permasalahan brand safety. Beberapa brand mencemaskan minimnya kontrol dalam konteks ditampilkannya brand pada konten video TikTok.
Terlepas dari pro dan kontra penerapan brand marketing via TikTok, platform ini memang unik. Baik secara algoritma maupun karakteristiknya, dan hal ini telah diakui oleh para ahli.
Brand perlu mempertimbangkan audiens yang semakin cerdas dalam mengonsumsi iklan. TikTok dapat menjadi alternatif dalam menciptakan brand marketing yang unik dan berbeda.