Dilansir dari Kompas.com, terjadi peningkatan signifikan pada transaksi dompet digital selama pandemi. DANA mencatat transaksi online tumbuh sebanyak 15 persen, begitu pula dengan OVO yang mendulang kenaikan hingga 100 persen. Hal ini kembali membuka harapan akan Cashless Society di Indonesia yang telah digadang-gadang sejak 2014. Namun, akankah wacana tersebut terwujud dalam waktu dekat?
Berkembangnya sistem perekonomian nasional ke perekonomian global membuat masyarakat masa kini cenderung tertarik dengan model transaksi e-commerce yang tak mengharuskan pertemuan antara penjual dan pembeli. Sistem ini semakin didukung oleh munculnya merchant atau gerai perbelanjaan yang menyediakan pembayaran via uang elektronik. Inilah akar dari Cashless Society alias kondisi masyarakat yang bertransaksi tanpa uang tunai, melainkan Uang Elektronik maupun Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). APMK terdiri dari kartu ATM/Debit hingga kartu Kredit. Uang Elektronik bisa dibedakan menjadi dua yakni chip/card based misalnya Flazz, Brizzi, Tapcash atau server based misalnya OVO, GoPay, atau LinkAja.
Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Bank Indonesia sejak 2014 menjadi tonggak transformasi Indonesia menuju Cashless Society. Strategi ini dilanjutkan melalui e-toll atau sistem non-tunai untuk pembayaran tol pada 2017 dan peluncuran QRIS tahun 2019.
E-toll untuk membayar tol di Indonesia. Credit image: Jalan Tikus.
QRIS merupakan QR Code yang dikeluarkan Bank Indonesia sebagai standar pembayaran digital melalui aplikasi Uang Elektronik server based, dompet digital, maupun mobile banking. Sembilan bulan sejak peluncurannya pada 17 Agustus 2019, QRIS telah dipakai oleh 2,7 juta merchants di seluruh Indonesia.
Hingga tahun 2019, penggunaan Uang Elektronik di Indonesia mencapai Rp 16,9 Triliun, meningkat lebih dari lima kali lipat dari tahun sebelumnya. Pemakaian APMK juga mengalami pertumbuhan. Jika pada tahun 2014, pemakai kartu ATM/Debit hanya 112, 9 juta, pada 2019 penggunanya meningkat 54% sebanyak 174,4 juta. Begitu juga dengan penggunaan kartu ATM yang naik 25% dan kartu Kredit yang mengalami pertumbuhan sebanyak 8,75% dari periode 2014-2019.
Hasil survei yang dilakukan IPSOS Indonesia pada awal 2020 menunjukkan perkembangan Cashless Society yang cukup menggembirakan. Survei ini mengambil sampel sebanyak 1000 responden yang tersebar di beberapa pulau: Jawa (66%), Sumatra (21%), Kalimantan (6%), Sulawesi (4%), Bali (4%) and Nusa Tenggara (1%). Ternyata, 47% dari mereka menggunakan lebih dari satu jenis digital wallets. E-Money dan Flazz merupakan kartu yang paling banyak dipakai untuk bertransaksi. Sebanyak 23% dari mereka bahkan memiliki lebih dari tiga non-cash cards. Responden menggunakan transaksi non-tunai untuk melakukan beragam aktivitas seperti belanja online, membayar tagihan listrik, membeli makanan di restoran, menggunakan transportasi umum, menonton film, hingga layanan digital banking lainnya.
Apakah data ini lantas menunjukkan kesiapan Indonesia untuk menjadi Cashless Society? Saatnya belajar dari negara lain.
Swedia merupakan salah satu negara yang kerap diunggulkan dalam memasyarakatkan Cashless Society. Data Swedish Central Bank menunjukkan perkembangan signifikan pada penggunaan beragam jenis kartu, sedangkan penarikan cash menurun tajam sebanyak 10% per tahun sejak 2015-2017. Hingga awal 2018, cash hanya merepresentasikan 1 % dari Gross Domestic Product di negara ini. Swedia bahkan sedang mengembangkan mata uang digital mereka sendiri, yakni e-krona. Menurut GlobalData, Swedia selangkah lebih maju dari negara lain dalam hal Cashless Society mengingat 80% penduduknya telah beralih ke kartu sebagai alat pembayaran.
Ilustrasi pemakaian kartu kredit. Credit image: Negative Space/Pexels
Hal ini tentu tak terlepas dari karakteristik penduduk Swedia sendiri. Mereka bisa dibilang sudah cukup melek teknologi, serta memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dan otoritas. Sebanyak dua per tiga dari populasi mereka menggunakan Swish, sebuah aplikasi untuk melakukan transaksi keuangan melalui nomor ponsel yang telah terhubung dengan rekening bank. Layanan e-Bank seperti BankID yang merupakan kolaborasi bank-bank besar di Swedia juga menjadi favorit para penduduk. Setiap tahunnya, BankID bisa menerima delapan juta pengguna. Tak hanya mengandalkan kartu atau ponsel, Swedia juga punya chip Biohax yang memungkinkan mereka membayar tiket perjalanan hingga beragam makanan dari vending machine hanya dengan lambaian tangan.
Ilustrasi pembayaran secara contactless dengan smartphone. Credit image: Gustavo Fring/Pexels
Swedia terus berkomitmen melakukan pengembangan Cashless Society melalui proyek P27. Proyek ini bertujuan menciptakan infrastruktur pembayaran lintas-jarak bagi 27 juta penduduk Denmark, Swedia, Norwegia, dan Finlandia. Infrastruktur ini mempermudah proses transaksi keuangan lebih mudah dengan memfasilitasi konversi mata uang secara instan.
Kanada, pada satu sisi berada pada klasemen puncak Cashless Society per Maret 2019 menurut laporan FIS Global. Hingga 2016, 40% retailers telah menyediakan perangkat pembayaran contactless dan 95% kartu kredit telah mendukung sistem pembayaran serupa.
Meski begitu, Bank of Canada menuturkan belum memproyeksikan bahwa Cashless Society akan tercapai dalam waktu dekat. Hal ini mengingat transaksi cash masih menjadi favorit penduduk untuk pembelian produk berskala kecil.
Bank of Canada juga melihat bahwa koin dan cek yang selama ini menjadi mata uang di negara tersebut bersifat murah (tanpa biaya transaksi), menyediakan keamanan dan selalu tersedia dalam situasi krisis (misal blackout). Pembuat kebijakan di negara tersebut tak bergegas mengatur Cashless Society karena mempertimbangkan keberadaan warga dengan kondisi finansial terbatas.
Ilustrasi orang lanjut usia dengan uang tunai/cash. Credit image: Dima D/Pexels
Menurut Bank of Canada, cash belum bisa sepenuhnya dihilangkan dari negara mereka. Alasannya, karena memaksakan Cashless Society dapat menambah beban orang-orang yang bergantung pada cash atau memiliki keterbatasan opsi pembayaran.
Contohnya saja, bisnis kecil yang sangat memperhitungkan biaya transaksi kartu kredit karena biaya itu bisa mengurangi profit mereka. Tengok juga orang-orang tua di Kanada dan masyarakat dengan finansial terbatas yang tak memiliki akses internet, ponsel atau aplikasi digital. Mereka juga akan lebih memilih pembayaran tunai.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Swedia memiliki modal paling kuat dan potensi terbesar sebagai negara Cashless Society. Hal tersebut tampak dari kesiapan penduduknya baik dalam segi mindset maupun habit dan adaptasi teknologi keuangan digital. Cashless Society telah dipertimbangkan hingga taraf infrastruktur, bahkan menjiwai sektor keuangan negara melalui usaha penciptaan e-krona. Hal ini pun didukung oleh kolaborasi bank-bank lokal dan fintech dari negara tersebut. Kanada memiliki kasus yang menarik, di mana sebetulnya posisinya lebih tinggi dari Swedia untuk menjadi Cashless Society, namun otoritas dan pemegang kebijakan di negara tersebut nampaknya belum mempertimbangkan wacana Cashless Society dalam waktu dekat. Pertimbangan mereka melingkupi kondisi finansial warga yang dirasa belum merata, serta keberadaan cek maupun koin yang dianggap masih menjadi identitas sekaligus alat transaksi tercepat bagi pembelian dalam skala kecil.
Ilustrasi Pemakaian Cash di Indonesia. Credit image: Artem Beliaikin/Unsplash
Beralih ke Indonesia, apa modal yang dimiliki untuk segera mencapai Cashless Society? Jika melihat hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019, tingkat literasi keuangan baru mencapai 38,03%, sementara inklusi keuangan mencapai 76,19%. Tingkat literasi keuangan terdiri dari indikator pengetahuan, keterampilan, keyakinan, sikap dan perilaku, sementara tingkat inklusi keuangan menggunakan parameter penggunaan (usage) produk/layanan keuangan dalam satu tahun terakhir.
Survei ini melibatkan 12.773 responden dari 34 Provinsi dan 67 Kabupaten/Kota yang mencakup seluruh sektor jasa keuangan yang berada dibawah pengawasan OJK, mulai dari sektor Perbankan, Pasar Modal, hingga Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) seperti Perasuransian, Lembaga Pembiayaan, Dana Pensiun, Pegadaian, dan LJK formal lainnya. Jika melihat persebaran wilayahnya, wilayah perkotaan tingkat literasi dan inklusi keuangan mencapai 41,41% dan 83,60%. Sementara tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat perdesaan adalah 34,53% dan 68,49%. Berdasarkan produk keuangan yang digunakan, mayoritas responden masih mengandalkan sektor perbankan (73,88%).
Hal yang bisa disorot dari pemaparan di atas adalah bahwa tingkat pemahaman maupun adopsi layanan/produk keuangan digital di Indonesia masih terbilang rendah. Hal kedua yang tampak dari data-data di atas adalah literasi keuangan belum merata karena adanya ketimpangan antara wilayah kota dan desa. Menurut riset Arsita Ika Adiyani tahun 2018, konsumen pengguna uang elektronik saat ini umumnya masih didominasi oleh masyarakat kelas menengah hingga menengah atas maupun masyarakat yang sudah melek teknologi. Gap antara tingkat inklusi dan literasi menandakan banyak penduduk menggunakan produk keuangan tanpa benar-benar memahaminya.
Artinya, jika berkaca pada Swedia dan Kanada yang separuh penduduknya telah memiliki kesiapan untuk mengadopsi teknologi keuangan, Indonesia masih cukup tertinggal. Terbatasnya produk-produk keuangan yang diketahui masyarakat Indonesia juga menjadi perbedaan penentu yang signifikan. Seperti yang telah dijelaskan, Swedia dan Kanada telah mengadopsi budaya cashless hampir di semua sendi kehidupan. Hal ini tentu akan sulit diterapkan di Indonesia, terutama bagi bisnis kecil yang telah terbiasa bertransaksi dengan uang tunai misalnya pasar tradisional atau toilet umum di tempat-tempat wisata .
Infrastruktur adalah kendala lain yang perlu dipikirkan ketika berbicara soal Cashless Society di Indonesia. Swedia punya P27 Project serta berbagai kolaborasi yang senantiasa dikembangkan. Sedangkan, menurut riset Ikaputera Waspada tahun 2012, sebanyak 54,5% kelompok usaha di Indonesia tidak berencana untuk menjadi pengguna uang elektronik karena perlu menyiapkan biaya tambahan untuk EDC. Mesin EDC (Electronic Data Capture) adalah sebuah alat yang bisa membaca data dari uang elektronik yang disediakan oleh merchant. Data lain dari Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia, hingga November 2019, baru 10% dari 10 ribu pasar di Indonesia yang berhasil melakukan digitalisasi. Kendalanya ada pada jaringan internet dan regulasi e-retribusi.
Pasar Tradisional di Indonesia. Credit image: Wisnu Bagus/Unsplash
Secara garis besar, bisa dilihat kesiapan Indonesia dari segi teknologi maupun Sumber Daya Manusia belum mumpuni untuk mencapai ambisi Cashless Society. Kanada yang telah dielu-elukan sebagai salah satu top Cashless Society pun memilih untuk tidak tergesa untuk mewujudkan wacana tersebut. Indonesia bisa belajar dari keputusan Kanada tentang Cashless Society berdasarkan pertimbangan seperti keadaan finansial, sektor penghasilan masyarakat serta tingkat literasi dan budaya adopsi teknologi mereka. Sama seperti Kanada, adanya ketimpangan literasi di desa dan kota serta bisnis kecil yang didominasi budaya uang tunai di Indonesia dapat membuka mata bahwa adopsi Cashless Society tak sesederhana itu.
Hal yang bisa dilakukan Indonesia saat ini adalah memanfaatkan modal yang ada sebaik-baiknya: mengurangi pemakaian cash pada sektor tertentu. Strategi ini sebetulnya telah dicanangkan Bank Indonesia sejak 2007, yakni dalam seminar bertajuk “Toward Less Cash Society”. Strategi less cash tampak lebih realistis dan masuk akal ketimbang menghilangkan uang tunai sepenuhnya di Indonesia. Berdasarkan seminar ini, strategi less cash akan diterapkan pada sektor formal dan daerah perkotaan, sedangkan sektor informal dan daerah pedesaan masih mengandalkan sarana pembayaran tunai.
Ilustrasi Online Shopping. Credit image: Andrea Piacquadio/Pexels
Seminar ini bahkan telah merangkum tantangan apa yang akan dihadapi Indonesia dalam mewujudkan Less Cash Society: Indonesia masih merupakan cash society dimana tendensi bertransaksi dengan uang tunai masih tinggi; masalah infrastruktur; dan kesiapan perangkat hukum yang masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut. Sejak 2007 (tahun saat strategi ini dibuat) hingga 2019, data menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya mengatasi kendala tersebut.
Lantas, apakah Cashless Society hanya angan-angan semata bagi Indonesia? Data BSN tahun 2019 menunjukkan terdapat 4,7 juta transaksi cashless, 128 triliun volume transaksi cashless serta peningkatan penggunaan uang elektronik sebesar 241,2% dari sebelumnya. Tren belanja online di Asia Tenggara, termasuk Indonesia diprediksi juga akan bertahan bahkan hingga pandemi berakhir. Untuk menjangkau lebih banyak masyarakat, lembaga finansial seperti OJK mulai menyasar mahasiswa sebagai agen sosialisasi. Hal ini tentu menjadi langkah yang baik menuju Less Cash Society. Namun, untuk sampai pada tahap Cashless Society yang merata, Indonesia nampaknya masih berada pada perjalanan panjang.