Logo Aplikasi Hiburan FaceApp
Logo FaceApp. Credit image: Wallpapercave.

Siapa yang akhir-akhir ini sering melihat unggahan bertema swap gender dan aging: artis pria kesukaanmu tampak lebih feminin, atau melihat foto prediksi masa tua idolamu? Foto-foto tersebut dihasilkan oleh sebuah aplikasi berbasis AI bernama FaceApp. Hingga 9 Juni 2020, aplikasi ini masih berada pada posisi pertama trending aplikasi Google Play Store lho. Apa sih yang membuatnya menarik?

Melalui aplikasi ini, kamu bisa “melakukan pengubahan” pada wajahmu, temanmu, tetanggamu, hingga artis idolamu (siapapun yang fotonya kamu unggah). Pengubahan yang dimaksud sangat beragam, mulai dari warna kulit, mengubah gaya rambut, mengubah ekspresi, membuat wajah beberapa tingkat lebih muda atau tua, hingga mengubah gender dari pemilik foto. Hasil fotonya cukup realistis dan masih tampak seperti sosok aslinya, lho.

Teknologi yang memungkinkan aplikasi ini bekerja adalah kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI), lebih spesifiknya Generated Adversarial Network (GAN). GAN bekerja dengan metode deep learning. Seperti namanya, “generative” bersifat menciptakan sesuatu yang baru dari sesuatu yang sudah ada. Bagaimana mesin menciptakan sesuatu secara kreatif? Tentu saja dengan sistem machine learning alias mempelajari sekumpulan data sebelumnya. Setelah mengumpulkan berjuta-juta foto, teknologi ini akan menciptakan sebuah foto yang unik dengan sendirinya. Generator ini akan bekerja sesuai referensi data atau foto yang diberikan tanpa tahu apakah kita akan menyukai hasil akhirnya atau tidak. Teknologi ini juga punya “jaringan Diskriminatif” yang akan menguji data dari “Jaringan Generator” dengan data asli. Inilah yang dimaksud dengan sifat “adversarial”, cara kerja teknologi ini adalah mengadu data yang dihimpun dari jaringan generatif dan diskriminatif.

Ilustrasi fitur FaceApp seperti aging dan anti-aging, gender swap atau mengubah ekspresi
Ilustrasi fitur FaceApp. Credit image: FaceApp.com.

Penggunaan GAN saat ini rata-rata berkaitan dengan gambar, misalnya untuk menciptakan konten/imagery baru seperti pada aplikasi yang bisa membuat wajah bayi dari dua foto orang tua yang diunggah, atau aging-deaging seperti pada FaceApp, hingga mewarnai foto black and old foto dari masa lalu dan memperbaiki kualitas pixel pada sebuah foto.

FaceApp juga menggunakan “photorealism” yakni mempertahankan filter pada foto asli, bukan mengubahnya ke format lain. Hal ini yang menjadikan hasil foto mereka lebih nyata dan natural ketimbang aplikasi lain.

Di sisi lain, penggunaan teknologi AI semacam ini menumbuhkan permasalahan dari segi etika lho. Teknologi penciptaan wajah ini sangat lekat dengan fenomena Deepfake yakni gambar atau video yang dihasilkan dengan mengganti wajah orang lain pada tubuh atau model lain. Machine learning juga memungkinkan peniruan suara dan ucapan seseorang. Teknologi ini membuat seolah-olah seseorang mengatakan sesuatu atau bertindak dengan cara yang tidak pernah benar-benar terjadi. Siapa yang akan bertanggung jawab ketika seseorang menggunakan FaceApp untuk mengubah usia atau jenis kelamin seorang lainnya dan memposting gambar mereka tanpa izin yang bersangkutan?

Ilustrasi aplikasi FaceApp yang sangat populer di kalangan anak muda hingga selebgram
Ilustrasi aplikasi FaceApp. Credit image: The Verge.

Spekulasi ini tidak dapat dilepaskan dari isu privasi. Banyak kekhawatiran mencuat yakni bahwa FaceApp dapat menggunakan data yang dikumpulkan dari foto pengguna untuk melatih algoritma pengenalan wajah. Beberapa pengguna khawatir developer asal Rusia yang bernama Wireless Lab ini akan menyimpan foto-foto yang telah diunggah dan melakukan pengubahan atau memanipulasinya. Tindakan ini dapat dilakukan bahkan setelah foto itu dihapus karena pengukuran fitur pada wajah seseorang dapat diekstraksi dan digunakan untuk tujuan tersebut. Meski begitu, tuduhan ini telah dibantah oleh Kepala Eksekutif Perusahaan FaceApp, Yaroslav Goncharov kepada BBC. Ia mengatakan bahwa foto itu akan disimpan di database mereka di Amerika dan secara otomatis terhapus dalam 48 jam setelah foto diunggah. FaceApp juga hanya akan menggunakan foto tersebut untuk mempermudah pengeditan foto, sehingga user tidak perlu mengunggah lagi foto yang sama ketika akan melakukan pengeditan. Yaroslav mengkonfirmasi bahwa mereka menggunakan layanan penyimpanan public seperti Google Cloud dan AWS untuk menyimpan informasi pengguna. 

Sebuah artikel dari MIT Technology Review juga mencoba melihat apakah FaceApp memiliki potensi yang berbahaya seperti aplikasi pengenal wajah. Di luar dugaan, cukup berkebalikan dengan asumsi negatif, menurut mereka aplikasi ini cuma bisa mengedit wajah saja karena selain foto, tidak ada identitas lain yang diberikan untuk mendukung pengenalan identitas. Meski machine learning memungkinkan pengenalan identitas seseorang, akurasinya akan sangat minim. Selain itu, ada cara yang lebih mudah seperti menyasar profil media sosial target yang dituju ketimbang aplikasi yang cukup anonim seperti FaceApp.

Peneliti keamanan data, Jane Manchun Wong mencoba melakukan analisa terhadap aplikasi FaceApp dan melihat tidak ada yang mencurigakan. Meski begitu, ia meminta adanya opsi bagi pengguna untuk menghapus data mereka dari server. Pihak FaceApp menegaskan mereka dapat menghapus data pengguna dari server mereka melalui fitur “support”, “report a bug” dan pilih menu “privacy”. Jane juga mengingatkan pengguna untuk berhati-hati terhadap data pribadi mereka saat mengakses aplikasi pihak ketiga, apalagi FaceApp menyerahkan sepenuhnya hak-hak atas foto pribadi pengguna terhadap si pengguna sendiri. Perlu dicatat ketika kamu telah menyetujui izin akses atau permintaan, FaceApp dapat melakukan apapun terhadap foto yang telah diunggah ke sistem cloud.

Tweet Senator Schumer tentang keamanan FaceApp yang ia tanyakan kepada FBI
Tweet Senator Schumer tentang keamanan FaceApp. Credit image: Twitter @SenSchumer

Selain masalah etika data,  aplikasi ini juga sempat terkena isu bias rasial. Pada 2017 saat aplikasi ini booming untuk pertama kalinya, filter Hollywood mereka menuai kritik karena menampakkan bias rasial dengan mempromosikan “kulit putih”. Pihak FaceApp merespon kontroversi ini dengan permintaan maaf dan mengubah nama filter tersebut menjadi “Spark”. 

Wah ternyata aplikasi edit foto yang kelihatan simpel nggak sederhana-sederhana amat, ya, peeps. Gimana pendapatmu soal aplikasi yang satu ini? Masih tertarik mencobanya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *