Belum lama ini, operator seluler Indosat Ooredoo meluncurkan jaringan 5G pada 22 Juni lalu, setelah seminggu sebelumnya dinyatakan lolos Uji Laik 5G. Kementerian Komunikasi dan Informasi menerbitkan Surat Keterangan Laik Operasi (SKLO) yang menandakan bahwa seluruh sarana dan prasarana untuk penggelaran jaringan 5G yang telah selesai dibangun oleh PT.Indosat Tbk, secara teknis siap dioperasikan. Kota Surakarta, Jakarta, Surabaya, dan Makassar akan menjadi daerah layanan jaringan 5G secara komersial dari operator seluler ini.
Indosat bukan operator seluler pertama yang meluncurkan 5G, sebelumnya PT. Telkomsel sudah lebih dulu mendapatkan SKLO layanan 5G dari Kkemeninfo pada 24 Mei lalu. PT. Telkomsel kemudian resmi meluncurkan jaringan 5G pada 27 Mei, yang dapat dinikmati secara terbatas dan bertahap di 6 lokasi residensial di wilayah Jabodetabek, serta kota-kota lain seperti Solo, Medan, Balikpapan, Denpasar, Batam, Surabaya, Makassar, dan Bandung.
Pemerintah memang sedang menggenjot transformasi digital di Indonesia. Berdasarkan data Speedtest Global Index pada Januari 2020, Indonesia memiliki kecepatan akses internet mobile broadband dengan kecepatan download rata-rata 14,16 Mbps dan upload 9,50 Mbps, dan mendudukkan Indonesia pada peringkat 120 dunia. Kecepatan tersebut berada di bawah kecepatan akses rata-rata dunia, dengan kecepatan download 31,95 Mbps dan upload 11,32 Mbps. Untuk kecepatan fixed broadband, Indonesia menduduki peringkat 115 dengan kecepatan download 20,60 Mbps dan upload 12,53 Mbps, masih jauh di bawah rata-rata kecepatan fixed broadband dunia yakni sebesar 74,32 Mbps untuk download dan upload 40,83 Mbps.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, Ismail mengatakan kehadiran 5G diharapkan akan mendorong transformasi digital pada empat sektor strategis, yakni infrastruktur digital, pemerintah digital, ekonomi digital, dan masyarakat digital.
SIAPKAN LINGKUNGAN UNTUK JARINGAN 5G
Untuk mendukung implementasi teknologi 5G di Indonesia, pemerintah telah menyiapkan beberapa kebijakan yang komprehensif, “Regulasi, ketersediaan spektrum frekuensi radio, model bisnis yang efisien dan fleksibel, infrastruktur yang memadai, serta kesiapan perangkat, ekosistem, dan talenta digital,” jelas Ismail dalam Webinar “5G dan Peran Insinyur Elektro dalam Pengembangan Transformasi Digital Indonesia.

Menkominfo, Johnny G Plate menegaskan soal dua kebijakan guna mendukung pengelolaan spektrum 5G di Indonesia. Kebijakan pertama yakni kebijakan netral, di mana operator seluler dapat memanfaatkan pita frekuensi radio yang telah ditetapkan di dalam izinnya untuk mengimplementasikan teknologi 5G agar lebih efisien dan menjadi semakin kompetitif.
“Operator seluler memiliki kesempatan untuk memilih teknologi netral yang cocok dengan pertimbangan bisnis dan keadaan di lingkungan opeselnya masing-masing. Kami mengharapkan pilihan tersebut dapat mendukung penyelenggara layanan telekomunikasi seluler untuk mengembangkan ekosistem teknologi,” Ujar Johnny dalam rilis resmi Kominfo.
Kebjijakan kedua berkaitan dengan Program Farming dan Refarming Frekuensi untuk menyediakan tambahan pita-pita frekuensi baru yang dapat dimanfaatkan oleh Penyelenggara Telekomunikasi.
“Untuk mengembangkan kapasitas dan kualitas layanan 5G bagi masyarakat. Lelang frekuensi yang dilakukan sebelumnya termasuk ke dalam kebijakan farming, sedangkan upaya digitalisasi penyiaran yang tengah dilakukan masuk ke dalam upaya refarming,” papar Menkominfo.
Menurutnya kebutuhan spektrum frekuensi untuk mendukung jaringan 4G dan 5G dI Indonesia hingga tahun 2024, setidaknya sebanyak 2. 047 Mhz. Hingga saat ini Indonesia baru menggunakan sekitar 737 Mhz untuk keseluruhan operasi telekomunikasi. Artinya pemerintah perlu melakukan farming dan refarming spektrum sebanyak 1.310 MHz, atau hampir dua kali lipat dari kapasitas kebutuhan saat ini.
Pembangunan infrastuktur internet pun akan terus di genjot. Ada 12.548 desa yang saat ini sedang digenjot pembangunan infrastruktur internetnya, sehingga pada 2024 diharapkan seluruh desa dan kelurahan di Indonesia sudah di cover oleh Base Transceiver Station (BTS).
Selain itu untuk melengkapi jaringan kabel serat optik yang sudah ada di Indonesia, pemerintah akan meluncurkan High-Throughput Satellite Satria-1 yang rencananya akan beroperasi pada kuartal III 2023. Satelit ini digadang-gadang akan menjangkau 150 ribu titik layanan publik di Indonesia yang belum dapat akses internet lantaran tidak terjangkau oleh kabel serat optik. Proyek satelit SATRIA yang sudah dimulai pada masa kepemimpinan mantan Kominfo Rudiantara ini dikatakan memiliki kapasitas 150GB dengan biaya Rp 6,9 triliun.
Menkominfo dalam rilis resminya mengatakan saat ini Indonesia menggunakan 9 satelit untuk keperluan kapasitas telekomunikasi dan 5 satelit untuk mendukung layanan akses internet masyarakat. Direktur Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Ismail mengatakan, salah satu prasyarat implementasi 5G adalah fiberisasi. Sebagai catatan, hingga September 2020, jumlah fiberisasi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan investasi dan jasa penunjang telekomunikasi terbesar di Indonesia, Sarana Menara Nusantara (TOWR) mencapai 37.000. TOWR menyewakan dan melakukan perawatan menara telekomunikasi nirkabel untuk semua operator telekomunikasi di Indonesia. Wakil Direktur Utama TOWR mengungkapkan tahun ini, perusahaan berfokus untuk meningkatkan jumlah fiberisasi. Ia juga mengungkapkan penambahan menara telekomunikasi tahun ini ditargetkan sebanyak 500-1.000 menara baru. Sementara untuk target colocation tahun ini ditargetkan tumbuh 2.000 sampai 3.000 menara.
PITA FREKUENSI YANG IDEAL
Laporan GSM Association (GSMA), berjudul “5G Spectrum: GSMA Public Policy Position, yang dipublikasikan pada Maret 2020 lalu menyebutkan bahwa pita frekuensi 2,5 GHz di rentang 3,3 GHz- 3,8 GHz cukup umum digunakan di beberapa negara yang telah menggelar 5G seperti Korea Selatan. Namun di sisi lain, jumlah negara yang menggunakan pita frekuensi 3,8 GHz-4,2 GHz juga mulai meningkat. Negara-negara yang menjadi pengguna awal 5G seperti China dan Jepang, bahkan menggunakan pita frekuensi 4,5 GHz – 5 GHz. Kendati demikian, GSMA melaporkan beberapa negara juga berencana mengadopsi spektrum 2,3 GHz, 2,5 Ghz atau 2,6 Ghz. Untuk lower band, pita frekuensi 700 Mhz menjadi prioritas Eropa untuk menggelar 5G, demi mendapatkan cakupan yang luas. Sementara pemerintah AS, memilih menggunakan pita frekuensi 600 Mhz di layer tersebut.
Koordinator Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, Adis Alifiawan menjelaskan jaringan 5G yang saat ini kita nikmati di Indonesia, berada di frekuensi 2,3 Ghz atau Middle Band. Coverage dan kapasitasnya juga lebih besar daripada yang Low Band,” tuturnya dalam Diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) Indonesia Maju dengan 5G, dari Ruang Media Center Kominfo, Jakarta, awal bulan lalu.
Baca juga: Apakah Indonesia Sudah Siap Dengan 5G?
PERCEPATAN AKSES INTERNET UNTUK WILAYAH TERTINGGAL
Namun seiring dengan langkah optimis pemerintah menggenjot digitalisasi di Indonesia, muncul nada-nada nyinyir di tengah masyarakat. Pasalnya ditengah peluncuran teknologi 5G yang sudah bisa diakses di beberapa kota besar di Indonesia, masih banyak daerah-daerah tertinggal yang kesulitan akses internet. Terlebih sejak hampir seluruh kegiatan tatap muka beralih menjadi daring di tengah pandemi.
Masih jelas di ingatan menyoal 47 siswa/i di NTT terpaksa melaksanakan Ujian Akhir Sekolah berbasis digital di tenda darurat yang didirikan di tengah hutan agar mendapat akses internet April lalu. Belum lagi seorang mahasiswi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) di Toraja terpaksa jalani ujian proposal secara online di tengah hutan pinus untuk mendapatkan sinyal internet Mei lalu.
Ketersediaan akses broadband yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia,menjadi salah satu penghambat digitalisasi di semua sektor. Dari total 83.218 desa/kelurahan di Indonesia, terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau internet 4G. Dengan 9.113 desa/kelurahan diantaranya merupakan wilayah 3T (non komersial), dan 3.435 desa/kelurahan lainnya merupakan wilayah non 3T (komersial).

Mengatasi hal tersebut pemerintah telah menyiapkan skema percepatan penyediaan akses internet yang akan ditargetkan pada 9.113 desa di wilayah non komersial. Pasalnya coverage seluler 4G masih terkonsentrasi di wilayah komersial seperti di Pulau Jawa, Sumatera, dan sebagian Kalimantan.
Untuk memenuhi target 9.113 desa di wilayah non komersial agar segera terlayani internet 4G, Kemenkominfo akan membangun dan menyediakan BTS seluler 4G. Pada tahun 2020, pembangunan BTS telah dilakukan pada sebanyak 1.679 lokasi. Sementara 3.435 desa di wilayah komersial yang belum terlayani internet 4G ditargetkan seluruhnya akan dituntaskan hingga tahun 2024.
Rani R, Jakarta
[…] Baca juga: Menakar Kesiapan 5G di Indonesia […]