Era digital sudah di depan mata, hampir semua aspek kehidupan kini mulai tersentuh oleh digitalisasi. Mulai dari belanja hingga melakukan kegiatan perbankan, seperti transfer dan transaksi secara online.
Terlebih pandemi Covid-19 membuat banyak kegiatan manusia mendadak harus dilakukan dari rumah saja, kerja remote menjadi solusinya.
Salah satunya adalah kegiatan perekonomian dan perbankan. Pandemi membuat masyarakat mau tidak mau lebih sering melakukan transaksi secara digital. Menjadi pemicu percepatan digital yang terjadi secara ‘alami’ di masyarakat.
Oleh karena itu dunia perbankan menjadi salah satu sektor yang dirasa perlu dan penting untuk mempercepat digitalisasinya. Oleh karena itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat sebuat skema bernama bank digital.
Bank digital merupakan bank yang memberikan pelayanan perbankan kepada nasabahnya secara penuh melalui internet. Walaupun sama-sama berbasis internet, tetapi bank digital berbeda dengan layanan mobile banking dan internet banking yang sudah ada.
Mobile banking dan internet banking memiliki layanan yang terbatas, dan layanan perbankan lain masih harus diurus secara offline, ke kantor cabang.
Sedangkan bank digital memberikan layanan perbankan penuh secara online, mulai dari pembukaan rekening, administrasi, kelola keuangan, otoritas transaksi, hingga penutupan rekening.
Nasabah sama sekali tidak perlu ke kantor cabang untuk melakukan kegiatan perbankan, karena semua layanan dapat dinikmati secara online melalui gawai masing-masing.
Bank digital ibarat bank konvensional dalam genggaman tangan. Otomatis pelayanan perbankan juga dapat dinikmati selama 24 jam penuh, karena bank tidak pernah ‘tutup’.
Bank Digital di Indonesia

Indonesia sudah memiliki regulasi untuk mengatur layanan bank digital yang dikeluarkan oleh OJK melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.03/2018 tentang Layanan Perbankan Digital oleh bank umum.
Bank digital dapat dibentuk dengan dua kategori yaitu membuat bank baru, bank digital atau dengan mengubah bank konvensional menjadi bank digital. Salah satu bank konvensional yang diubah menjadi bank digital adalah BRI Agro.
BRI Agro Menuju Bank Digital
Bank Rakyat Indonesia (BRI) sudah mempersiapkan bank digital, dengan mengubah salah satu anak perusahaannya yaitu BRI Agroniaga atau Agro menjadi bank digital.
Sebelumnya BRI Agro sudah memiliki ekosistem kredit digitalnya sendiri yang telah beroperasi yaitu ‘Pinang’ atau Pinjaman Tenang, hanya dalam waktu 15 menit, nasabah sudah mendapat uang pinjaman di rekeningnya.
BRI memungkinkan para nasabahnya untuk melakukan transaksi pinjaman uang hanya melalui aplikasi digital ‘Pinang’ tanpa harus ke kantor cabang, atau melakukan administrasi lain secara offline.
Secara sederhana, itulah cara kerja bank digital. Nasabah dapat melakukan segala jenis transaksi hanya melalui sebuah aplikasi digital, dan tidak perlu lagi ke kantor cabang.
Direktur Utama Bank BRI Agroniaga Kaspar Situmorang, mengatakan bahwa BRI Agro akan mengalami perubahan nama, guna mematangkan konsep bank digital yang dibawa.
“Secara prinsip kami akan mengubah nama karena persepsinya seperti bank sawit digital. Kami punya beberapa opsi nama,” tutur Kaspar Situmorang dikutip dari laman finansial.bisnis.com.
BRI Agro sebagai bank digital nantinya akan mengincar segmen gig ekonomi yaitu pasar tenaga kerja kontrak atau jangka pendek atau freelancer.
Pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan gig ekonomi meningkat sebesar 27% dari tahun sebelumnya. Diperkirakan juga gig ekonomi akan terus bertumbuh, dan di tahun 2025 akan menyentuh angka 74 juta.
Dilansir dari CNBC Indonesia, menurut Kaspar Situmorang segmen gig ekonomi tersebut belum terfasilitasi oleh bank lain, sehingga menjadi peluang yang dilihat BRI Agro untuk membuat struktur bank digital yang menjangkau segmen tersebut.
BRI Agro memiliki visi yaitu ‘House of fintech and Home for Gig Economy’, dengan kesiapan infrastruktur digital, nantinya BRI Agro pun akan memfasilitasi fintech-fintech, dan menjadi penyalur jasa fintech yang ada.
“Kami sudah siapkan digital saving, digital landing, open IPI nya untuk bisa terintegrasi dengan banyak sekali fintech yang ada di Indonesia, sehingga aspirasi kami sebagai ‘House of Fintech dan Home of Gigs Economy’ betul-betul bisa terlaksana,” tutur Kaspar Situmorang dikutip dari CNBC Indonesia.
Berlomba-lomba membuat bank digital
Sejumlah bank umum di Indonesia pun mulai mempersiapkan bank digital dan berlomba-lomba untuk mendapatkan lisensi dari OJK.
Seperti bank swasta terbesar di Indonesia yaitu Bank BCA, dilansir dari CNBC Indonesia, Bank BCA diketahui yang telah mengakuisisi Bank Royal pada November 2019 dan mengubahnya menjadi Bank Digital BCA.
Kemudian ada Bank Artos yang mendapat suntikan dana dari investor, dan berubah nama menjadi Bank Jago pada Juni 2020 kemarin, Bank Jago disiapkan akan menjadi bank digital.
Salah satu pemegang saham Bank Jago adalah perusahaan ride hailing Indonesia, Gojek dengan 22% akuisisi pemegang saham. Gojek diketahui berminat untuk mengakuisisi Bank Jago secara penuh untuk memantapkan eksositem pembayaran digital yang sebelumnya sudah ada yaotu GoPay.
Lalu PT. Bank Ina Perdana Tbk (BINA) membangun ekosistem bank digital dengan bekerja sama dengan Group Salim, melalui gerai ritel, Indomaret. Nasabah BINA dapat melakukan transaksi melalui pipa gerai-gerai Indomaret.
Tidak hanya itu, PT. Bank Aladin Syariah Tbk (BANK) pun bekerjasama dengan Alfamart dan Halodok untuk membangun ekosistem bank digital. Hal sama pun terjadi, Alfamart bekerjasama dengan PT. Bank Capital Indonesia Tbk (BACA) dengan meluncurkan aplikasi ‘Tebak Nama Aplikasi’.
Selain itu beberapa yang sudah lebih dulu beroperasi ada Jenius yang dibentuk dari Bank BTPN, kemudian TMRW atau Tomorrow dari Bank UOB, ada D-Save dari Bank Danamon, dan Digibank dari Bank DBS.
Indonesia masih dalam tahap persiapan, lalu bagaimana pelaksanaan bank digital di negara lain? Mari simak selanjutnya.
Baca juga: Mimpi Bank Indonesia Ciptakan Digital Rupiah, Mata Uang Digital Milik Indonesia
Melihat Bank Digital Negara Tetangga
Diawal tahun 2021, Singapura telah memberikan izin kepada empat konsorsium untuk mendirikan bank digital yang akan beroperasi di tahun 2022 mendatang, dilansir 101Wired dari CNBC Indonesia.
Singapura mengeluarkan lisensi bank digital dalam 2 kategori yaitu, lisensi untuk digital full bank dan lisensi digital wholesale bank.
Lisensi digital full bank diberikan kepada konsorsium Singtel (perusahaan telekomunikasi Singapura) dengan Grab (star-up ride-hailing Asia Tenggara), dan kepada Sea Limited, induk dari e-commerce Shopee.
Dengan lisensi digital full bank, digital bank konsorsium Singtel dengan Grab, dan Sea Limited dapat memberikan layanan perbankan digital kepada nasabah ritel maupun korporasi.
Sedangkan lisensi digital wholesale bank diberikan kepada Greenland Financial (perusahaan China), dan Ant Financial atau Alipay (Alibaba Group).
Berbeda dengan sebelumnya, lisensi digital wholesale bank hanya berlaku untuk melakukan layanan perbankan digital kepada nasabah korporasi dan UMKM.
Beberapa bank digital lain yang sudah beroperasi ada seperti WeBank dari China, ZA Bank dari Hongkong, lalu Monzo, Revolut, Starling Bank dari United Kingdom.
Potensi Bank Digital di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan cakupan wilayah yang sangat luas. Geografis Indonesia terpisah oleh lautan, mengakibatkan banyak daerah tergolong kedalam kawasan 3T, Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal.
Faktor tersebut menjadi salah satu pemicu banyaknya populasi unbanked di Indonesia. Dilansir dari CNBC Indonesia, berdasarkan data dari e-economy sea tahun 2019 Indonesia menjadi negara dengan populasi unbanked terbanyak di ASEAN, dengan penduduk unbanked sebanyak 92 juta jiwa.
Kemudian menurut data Kementerian Koordinasi bidang Perekonomian tahun 2018, sebanyak 51% penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki akses ke bank.
Sebenarnya hal tersebut merupakan potensi bagi pertumbuhan bank digital di Indonesia. Sebab bank digital memungkinkan untuk mengakses nasabah dimana saja, tanpa perlu kantor cabang di daerahnya.
Hal ini pun didukung dengan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukan bahwa 82% wilayah di Indonesia sudah mendapatkan akses layanan internet 4G. Dan data pengguna smartphone di Indonesia yang meningkat sebesar 30-50% per tahunnya.
Data tersebut menunjukan penduduk Indonesia mayoritas sudah mendapatkan layanan internet, dan memiliki smartphone untuk mengaksesnya. Tetapi disisi lain setengah dari jumlah populasi masyarakat dewasa belum mendapatkan akses perbankan.
Diharapkan kehadiran bank digital nantinya dapat menggapai lebih banyak kalangan, dan memperluas sebaran nasabah di seluruh pelosok Indonesia.
Juga membangun ekosistem perbankan digital yang dapat dinikmati semua orang dengan mudah. Tidak hanya itu, bahkan bisa memperluas hingga ke ekosistem global.***