Dunia video game Asia Tenggara kembali dikejutkan dengan berita tuduhan crunch culture. Dua studio CGI yang berbasis di Malaysia dan Indonesia yaitu Lemon Sky Studios dan Brandovile Studios telah dituduh oleh mantan karyawan mereka terkait overtime work yang tidak dibayar.
Tuduhan crunch culture datang setelah seorang jurnalis game Chris Bratt mewawancarai mantan pekerja Lemon Sky dan Brandovile yang diunggah di kanal People Make Games, dan dalam video tersebut salah satu karyawan Brandoville memberikan pengakuan bahwa para karyawan diperlakukan seperti “disposable art artist” .
Perlu diketahui bahwa Lemon Sky dan Brandoville pernah menangani game Warcraft 3 Reforged, dan juga sebelum menjadi perusahaan independen, Brandoville merupakan anak cabang dari Lemon Sky yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebenarnya, Crunch Culture ini sudah ada sejak lama. Tepatnya pada tahun 2004, dimana kasus EA Spouse mencuat ke media. Erin Hoffman membeberkan crunch culture yang terjadi pada suaminya saat masih bekerja di EA Studios. Meski telah terekspos, pada kenyataannya kultur ini masih kerap dilakukan, terutama pada perusahaan triple A, atau kelas atas seperti Activision, EA, dsb.
Eksploitasi pekerja atau bisa disebut crunch culture, merupakan bentuk penyalahgunaan hak pekerja, terutama mereka yang bekerja di bidang pembuatan game. Para kreator game harus bekerja diluar dari jam kerja mereka untuk memenuhi tenggat waktu perilisan tanpa diberi kompensasi sama sekali.
Baca juga: Not A Game: Sisi Lain Dunia E-Sport
Setelah 16 tahun berlalu, kasus crunch culture terjadi lagi, kali ini melibatkan pengembang game dari Polandia, CD Projek RED. Pengembang dibalik game Cyberpunk 2077 ini, terkena tuduhan serupa dengan Lemon Sky dan Brandoville. Kasus tersebut mencuat ke media setelah pemilik dari CD Projekt RED, berjanji tidak akan melakukan praktik tersebut di tahun 2019.
Dalam potongan wawancara Kotaku Splitscreen di tahun 2019, Marcin Iwinski selaku CEO CD Projekt RED, ditanya oleh Jason Schreier seorang game journalist perihal janjinya tersebut,
“Jika saya (Schreier), katakan padamu bahwa saya akan bekerja dari jam 10 pagi hingga jam 6 sore, dan akan terus seperti itu hingga akhir proyek karena saya memiliki istri dan anak, apakah anda (Iwinski) akan menjamin hal tersebut?”
Iwinski dengan tegas dan jelas mengiyakan pertanyaan tersebut, seolah-olah menyatakan bahwa ia akan berkomitmen untuk tidak melakukan praktik crunch.
Kenyataannya, hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang Iwinski janjikan setelah salah satu mantan karyawannya membeberkan bahwa mereka masih melakukan crunch culture untuk mengejar target.
Untuk membuat sebuah game dengan bujet yang besar, banyak pengembang game besar melakukan outsourcing untuk mengejar target pembuatan. Tidak jarang mereka akan melirik studio-studio independen seperti Lemon Sky dan Brandoville untuk membantu menyelesaikan proyek mereka.
Dalam kurun waktu setahun terakhir, Bratt telah mewawancarai lebih dari 19 karyawan, baik yang sudah keluar atau masih bekerja di dua outsourced studio di Malaysia dan Indonesia, dan kenyataan yang diterima oleh Bratt adalah bahwa masih terjadi praktik crunch pada dua studio tersebut.
Dari video yang diunggah oleh PMG tersebut, salah satu pekerja di Lemon Sky mengatakan bahwa ia akan sungguh beruntung jika ia bisa kembali tepat waktu, namun ia membeberkan bahwa terkadang ia harus kembali bekerja di akhir pekan, dan bekerja hingga jam 3-4 pagi.
Mantan pekerja lainnya juga membeberkan bahwa jika proyek yang dikerjakan tidak berjalan mulus, para pekerja dipaksa untuk menyelesaikan projek yang terhambat pada akhir pekan, dan tak jarang selama hari kerja para karyawan dipaksa untuk lembur, dan hal ini berakibat pada kesehatan mental para pekerja dimana salah satu kolega dari karyawan tersebut menangis di kamar mandi saking tidak kuatnya menghadapi tekanan yang terlalu besar
Salah satu mantan karyawan senior di Lemon Sky juga membocorkan bahwa, untuk bisa menggaet perusahaan kelas atas seperti Activision Blizzard mereka harus mengatakan bahwa mereka memiliki karyawan diatas 100 orang dan dapat menyelesaikan proyek tersebut dalam waktu yang singkat.
Menyebarnya kasus ini membuat pihak Lemon Sky cukup keresahan dan membeberkan bahwa mereka membantah keras tuduhan crunch culture yang dialamatkan kepada mereka, pihak Lemon Sky juga mengatakan bahwa mereka sangat menaati undang-undang ketenagakerjaan Malaysia, yang dimana para pekerja yang melakukan lembur wajib diberikan kompensasi mereka sebanyak satu setengah kali lebih besar dari rate per-jam karyawan
Lain di Malaysia, lain pula Indonesia. Brandoville memang mengakui bahwa para pekerja yang lembur tidak diberikan kompensasi, dikarenakan perusahaan tersebut masih terbilang baru, dan memang ada beberapa karyawan melakukan hal tersebut secara sukarela, dan hal ini juga dibenarkan oleh salah satu mantan karyawan Brandoville
Tetapi, yang menjadi sorotan dari video tersebut adalah pesan berantai mengenai jatah libur yang dibatalkan setelah sebelumnya CEO Brandoville Ken Lai menjanjikan para karyawan untuk mendapat jatah libur. Dalam pesan berantai yang dibeberkan dalam video tersebut, Cherry Lai selaku COO dan Istri dari Ken Lai meminta para karyawan untuk menolak jatah libur tersebut.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah, gaji yang diterima oleh Junior staff di Brandoville adalah sekitar 300 USD atau sekitar 4 juta Rupiah, yang mana menurut Bratt itu berada di bawah gaji minimum tanpa adanya kompensasi uang lembur.
Sebesar apapun proyek yang dilakukan, tidak seharusnya sebuah perusahaan mengedepankan uang di atas kesejahteraan para karyawan. Sudah seharusnya sebagai konsumen mendukung game dari pengembang yang mengedepankan iklim kerja yang sehat.
perusahaan yang melanggar peraturan tenaga kerja yaitu melebihi 40 jam per minggu tanpa uang lembur harus di laporkan ke pihak berwajib untuk membayar denda kelebihan kerja dan apabila lebih 12 jam perhari maka masuk itu kejahatan kemanusiaan